Di kesejukan
subuh tiba. Terlihat burung berbaris berduyun-duyun menjelajahi panorama. Dari
lorong jalan terdengar alunan Syahdu Muazzin mengemakan kalimat takbir
membisikkan seribu telingga dilorong.
semilir angin sejuk menerpa dedaun-daunan sehingga tampak bergoyang-goyang.
Sesaat kemudian matahari akan mulai muncul dikompas ufuk timur menebarkan
cahaya ke pertiwi alam suci berdampingan tersorotnya mentari yang menghiasi
indahnya duniawi. Rifa bangun
dari tidurnya menghampiri masjid untuk shalat berjama’ah. dijalan, badai sejuk
menerpa Rifa dalam kesunyian yang tak tertahankan. Rifai menuai dan merenungkan
kepada yang terjadi pada dirinya. kepada Allah.
“Ya
Allah, Betapa nikmat yang engkau berikan kepadaku, walau tak dapat menyenangkan dilubuk hatiku. Tetapi senantiasa, itu
adalah nikmat karuniamu yang tak tertemukan oleh manusia jelata, hambamu yang tengah
hidupnya bagaikan pengemis pintaan dari segala kekuasaanmu. Gumam Rifa terpaku, berdiri
ditepi jalan tak bisa melangkah dari telapak kakinya. Badai angin sejuk terhembus ribut
menerpa badan Rifa dengan penuh kedinginan. Kala itu Rifa melangkah sedikit demi
sedikit menelusuri masjid dengan menggigil kedinginan disekujur tubuhnya. Iqamah
terdengar syahdu dari sudut tujuan langkah Rifa. Kesadaran Rifa terus tertuju kepada rahmat
illahi. Ia maju demi langkah kakinya, tertiti dijalan kebenaran, menuju jalur mardhotillah ke masjid
tua. Tibanya di masjid, Rifa. Termenung, menumpah raga, beranjak ke kolam
mandi. mengambil air wudlu untuk menyucikan seluruh kehinaan diwajah yang penuh
lumpuran dosa. Setelah itu Rifa beranjak pergi melangkah, mendekat ke barisan
shof.
Angin semilir sejuk, yang terus berombak
memecah debu-debu yang terhampar luas diperbaringan. “Allahu Akbar”. Alunan
takbir Imam, menembus dikatup telingaku. Rifa hendak mengerakkan tangannya
memuji kebesarannya.
Rifa
termenung, teringat kepada sang maha pencipta dengan hati yang khusyu dan
merendahkan seluruh sukmanya, meniti ke jalur Illahi. Seiring takbir mengema
kembali. Rifa tergilas oleh keingatan dosa-dosa yang tlah lama berlalu dilubuk
hatinya. Tangisan Rifa menderu-deru diqalbunya. “Assalamu’alaikum warahmatullah
2X. salam Rifa ketika Imam mengakhiri shalatnya. Ia merintih dengan gemetar,
akan dosa-dosa yang tlah lalu. “Wahai Sang Maha Pencipta Alam. “Apa engkau
sudi, turut dengan do’a-do’aku ini, “Apakah engkau turut bisa menerima
permohonan dan ampunan yang aku dambakan kepadamu. “Ya Allah, semoga engkau teringat
akan do’a-do’aku ini”. Pintanya merintih kedukaan yang tak terselimuti
kebanggaan. Hanya duri-duri yang mengelupas ditepi sudut jantungku.
Rifa
melangkah meninggalkan masjid tua. Dijalan kembali menyejuk, merangkai
disekujur tubuh Rifa. “Wahai Allah”. “Bagaimana aku harus bayar hutang-hutang
nikmatmu yang tak terhitung olehku.” “Ya Allah. Tunjukkan diriku
kelangkah-langkah yang engkau ridlokan”. Gumannya didalam hati sambil
menyelimuti tubuhnya dengan sarong. Jejak-jejak langkah telapak kaki Rifa terhanyut
oleh hamparan debu yang mendebur-debur. Rifa menatap kesamping kiri dan kanan
memandang sekitar rata, warna alam yang mulai tampak terang. Suara gaduh,
keributan rumputan yang mendesau disertai gema alunan nada jangkrik yang mulai
membisu. Tatkala matahari nampak dari ufuk timur raya diiringi burung yang
mengembara, menyambut suasana cerah dipagi yang akan segera tiba, dan kokok
ayam dari kejauhan sudut, menyongsong selamat datang buat hari ini. Semoga
jangan semula seperti dihari lalu.
Rifa
menyambut keesokan yang hangat sambil memandangi disekitar tanaman pekarangan
rumahnya yang kini sunyi tak terawat. Ayahnya dan Ibunya Rifa sudah meninggal,
sejak Rifa masih kanak-kanak. Hanya ada satu teman untuk hidupnya, yaitu
neneknya yang kini masih sakit, terbaring dikamar tidur. Rifa segera beranjak
menengok neneknya dikamar tidur.
“Bagaimana
sekarang penyakit nenek? Ucap Rifa ingin menyentuh tangannya, tetapi tak kuasa.
Ia hanya mengalirkan embun sejuk dimatanya yang menetes ditangan neneknya.
“Sudahlah
Rif, kayaknya nenekmu beberapa menit lagi akan menemui tuhannya untuk
dipersidangkan hasil amalan-amalanku sewaktu nenek masih bisa memandang alam
ciptaan Al Khaliq. Ujar Nenek dengan nafas sesak.
“Jangan
begitu nek, tuhan itu yang menentukan kematian, bukannya nenek. Katanya sambil
menatap ke wajah nenek yang semakin pucat.
“Benar
kamu Rif, tetapi ku sudah mengerti. Bahwa hari ini langkahan malaikat sudah
segera akan tiba dihadapanku untuk membawa ruh suci nenek. Kata Nenek teringat
kematiannya.
“Jangan
berkata begitu nek, jangan tinggalkan Rifa sendirian dirumah ini. Rifa khawatir
nek”. Jawab Rifa terpasung dalam duka di kalbu hatinya.
Demi detik bergilir detik, demi menit
bergilir menit. Nenek melihat warna jubah putih yang berwujud bentuk manusia dan
memancarkan cahaya disambut oleh badai dari luar yang amat keras. Pintu-pintu
terbuka sendiri. Suara keras jendela memecah, menembus dikatup Rifa dengan rasa
ketakutan.
Dua malaikat membawa ruh nenek tua itu.
Rifa menatap neneknya yang sudah bisu dengan berteriak disertai duka yang
menusuk dijantungnya. “Neeneeeeeeeeeeek”. Suara Rifa histeris menjelajahi ke
sudut-sudut panorama alam yang dibawa kelana oleh angin. Rifa terpasung,
berdiri termenung. Membayangkan kemana dirinya bisa hidup tanpa ada satu teman
keluarganya. Kakak Rifa sudah meninggal dunia akibat kecelakaan sewaktu ingin
mengunjungi ke rumah karib kerabatnya.
Rifa masih menangis terisak-isak menemani
neneknya yang sudah menjadi patung yang membisu diperbaringan. Kemudian ia
mengendalikan duka yang menempel dikalbunya. Rifa mengurusi mayatnya dengan
aturan yang rifa ingat didalam ajaran dan dakwah kiai, sewaktu Rifa dipondokkan
oleh ayahnya. Rumah Rifa berada ditengah-tengah alas rimba, tak punya tetangga
untuk saling bersosialisasi. Kemudian Rifa membawa mayat neneknya, untuk
dikuburkan dekat makam orang-orang dahulu. yang sangat jauh jarak perjalanannya
dari rumah Rifa. Rifa membawanya dsertai air duka yang terus mengalir dari
matanya, membekas diliang tanah berubah wujud menjadi jejak-jejak rintikan.
Sampainya disana. Rifa menguburkan mayat
jenazah neneknya dengan kerja tangan sendiri. Setelah mayatnya terkubur. Rifa
menebarkan mutiara do’a disekeliling gundukan kuburan neneknya dan menyirami
air bunga yang harum diatas gundukan tanah yang membentuk seperti bukit kecil
itu. Rifa merenungkan seluruh sosok keluarganya yang masih bersamanya.
“Alangkah nikmatnya, bila keluargaku kembali hidup seperti kehidupan semulanya,
tapi mungkin tuhan tak mengharapkan pintaku yang penuh khayalan jenaka ini. Ucap
Rifa sambil merenungkan nasib dibatinnya. Angin bersemilir disertai suara
gesekan pohon pinus. Debu mengepul dan bunga kamboja bertebaran diterpa angin
yang amat keras.
Rifa pulang dengan langkahan yang bermakna,
setiap satu langkah kaki menjulurkan kedepan, Rifa selalu mengucapkan kalimat
tahmid satu kali, disertai do’a dibatinnya. Sampainya ia tiba didepan rumahnya
yang kini sunyi bagaikan dalam lubung bumi. Burung-burung terbang kesana-kemari
merancap ditangkai batang pohon-pohon. Sesampainya didekat pintu Rifa merasakan
suasana kesunyian. Kemudian Rifa membuka pintu rumahnya dengan suara yang agak
keras. “Krreeeeeeet”. Rifa duduk bersimpuh dikursi, melamun, membayangkan
nasibnya yang bergejolak dihatinya. Ia membayangkan langkah kemana hidupnya. Keluarganya
sudah tiada lagi, hanya bekas-bekas pakainan ayah dan ibunya dilemari dan
buku-buku milik kakaknya serta cincin ibunya yang berserakan di almarinya. Ia
memasrahkan hidupnya kepada Allah SWT, sambil terus ingin bekerja seperti waktu
mencukupi kehidupan neneknya, pergi mencari buah-buhan dan binatang yang halal
dialas rimba dengan alat-alat yang terbuat dari kayu pinus yang dilancipi
dengan pisau. guna menempuh masa-masa hidupnya untuk kebutuhan sehari-hari.
A. Kalamullah
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !