MTs Rifa'iyah Wonokerto - Kita berdua akan
kesana, jam di arloji milik Baduni sudah menunjuk pukul 06.00. berarti tak ada
waktu lagi untuk bersantai-santai. Alibia temannya yang suka mengantuk bila
dipapari semacam pelajaran, ia berkata seperti anak-anak saja baca buku. Dia
berbahagia sekali sekarang ini, sesaat Baduni akan mengajaknya ke pantai
Ngebum. Sederet pepohonan yang tampak semburat cahaya disela-dela
dedaunan, membuat matanya menyatu dalam hati sekali-kali tak ada rasa putus
asa.
“Ayo, cepat-cepat kesana”. Kata
Alibia gugup. “Nanti kebocoran esoknya”.
“Engkau punya uang”.tegur Baduni.
“Ahh..kamu? katanya aku akan
diajaknya, berarti hal itu gratis”. Gerutu Alibia.
Baduni tak berkata, dia meraih
kakinya. Sambil tangan kanannya menjawel punggungnya. “Ayo..!”.
Mereka berjalan berduaan diesok pagi
yang tampak sepi. Saat itu langit tampak cerah sekali berwarna kebiruan murni
tak ada campuran, cuma sedikit awan melintang. Sesekali burung-burung riuh
menyambutnya dengan meloncat-loncat ditiang listrik kesana kemari.
Baduni dan Alibia berjalan kaki,
karena Pantai Ngebum tidak jauh dari desanya, dan selain itu untuk kebutuhan
agar tubuhnya sehat karena gerakan kaki tersebut. Ketika itu Alibia menunjuk
dengan jari telunjuknya ke Pantai Ngebum yang sudah kelihatan jelas. “Asyikk,
engkau memang sahabat setiaku, Bad”. Alibia merayu-rayu dengan bahagia kepada
Baduni.
“Akh kamu, dulu berkata kalau
membaca buku seperti orang kecil, tetapi malah engkau bersifat lebih kecil lagi
dibanding dengannya. Ya, tu……cuma melihat pantai aja sudah kayak lembut melihat
kulit manusia”. Ejek Baduni.
“Lupakan aja Bad, dulu ya dulu, tapi
sekarang harus sekarang”.
“Ya, Sudah…..terserah kamu”.
Baduni tak berkesan bahagia sedikit
pun saat melihat didepan matanya: sebuah pantai yang sepi—dibibir pantai banyak
terdapat sampan yang bagus-bagus.
“Pantai sangat sepi”. Kata Alibia.
“Kita berdua akan bebas menikmati sampan-sampan itu”.
“Itu bukan milikmu tahu….?”. Baduni
membuat kelakarnya. “Itu milik para nelayan”.
“Gila kau..ini, kapal itu disediakan
untuk kita semua, tetapi harus dengan membayar uang seberapa kepada penjaga
pantai itu”.
“Masalah uang iya, tetapi apa engkau
bawa uang”.
“Yaa…kamu tanggung jawabnya”.
Katanya. “Aku ini kan diajak olehmu, maka kau yang bisa mengurusku”.
“He, he, he, he, he, he…lucu sekali
kau”. Baduni meringis. “Dengar uji kata aja sudah melotot-lotot gitu….apalagi
kalau aku berkata untuk segera pulang ke rumah…wah pasti kamu sampai bisa
menangis tak karuan”.
“Jangan teruskan”. Potong Alibia
sesaat akan sampai didepan sampan-sampan itu. “Ayo kita segera naik sampan
itu”.
“Eehhh, enak aja kau..”. Kata Baduni
dengan kelakarnya yang lucu “Sampan itu bukan milikmu, terus jika engkau naik
sampan itu, engkau tak akan selamat, makanya jangan sekali-sekali berani walau
menyentuh saja”.
“Sial amet sih kau”. Alibia
termenung penuh kesal. “Aku ingin kembali saja sekarang kerumah, jika engkau
terus-terusan membuat aku kesal dengan ocehanmu itu”.
“Jangan marah seperti itu”. Kata
baduni melerai kemarahannya. orang laki-laki yang jantan doonnngg”.
“Jantan!, jantan!”. Gerutunya.
“Kalau sekali-sekali, kau mengoceh hal itu lagi yang membuat aku kesal. Kau
akan merasakannya nanti.
“Alaaaaahhh, hal kecil aja bisa jadi
besar rupanya, iya sudaah, aku akan bisu selamanya”.
Dalam hati Alibia berkata penuh
kecewa. “Baru jadi orang kaya, sudah sombong amet, apalagi kalau jadi presiden,
waw…berat”.
Mereka sudah berada didepan
sampan-sampan itu. Alibia yang tadinya tersenyum-senyum bahagia, sekarang lesu.
Karena tadi sudah dijejeli kata-kata kelakar yang menyesalkan dari Baduni.
Alibia hanya mendengus-dengus membayangkan apa jadi harapannya menaiki sampan
itu. Baduni terheran-heran, melihat di kedua matanya Alibia mengeluarkan air
mata.”Engkau menangis, wahai Ali, maafkanlah saya, bukanlah hal tadi itu
bersifat nyata. Tetapi itu kelakar buatanku bersifat Halusinasi alias khayal
belaka, maka dari itu jangan dimasukkan ke dalam hati yaa, kalau sudah
terlanjur. Aku minta untuk maafkan aku……yaaa?”. Baduni baru merasakan
kesedihannya, didalam hatinya berkata. “Waah, temanku seperti perempuan…diejek
sekecil itu berani sampai mengeluarkan air mata. Berarti dia tak kuat oleh
kata-kataku tadi.
Baduni merogoh uang disakunya dengan
diam-diam, dan kemudian menjabat tangan kanannya Alibia yang digegamannya ada
segulung tiga lembar uang Sepuluh Ribuan. “Ini untukmu, semoga bahagia”.
Alibia menyentuh kertas berupa uang
dihimpitan antara tangan kanannya Baduni. Ia tampak kembali segar, kesusahan
dihatinya hilang dan juga kesedihannya, kemudian wajahnya tersenyum saat
dipandang oleh Baduni dengan tersenyum pula.
“Jangan sedih, karena waktu esok
masih indah untuk bercampur dengan dunia fantasimu”. Kata Baduni. “Ayo, kita
naik sampan, mari”.
Alibia tampak bahagia sekali
sekarang, dia meraih kakinya melompat ke sampan. Baduni belum sempat naik, dia
membayar dulu uang untuk penyewaan sampan
ke penjaga Pantai yang berada di posko—dibibir pantai itu, kemudian,
Baduni kembali, dan langsung menaiki sampan itu, ketika itu Alibia sudah
bersimpuh, menikmati udara sejuk diatas sampan. Kemudian mereka segera
mendayungnya dengan dibantu angin dari barat yang sedikit kencang.
Sampan itu didayung perlahan sampai
ketengah-tengah lautan. “Aku belum merasakan kebahagian seperti menaiki
sampan”.
“Apa engkau belum pernah
mencobanya”. Kata Baduni.
“Belum Bad, semenjak kecil aku belum
pernah menaiki sampan”.
“Amboi diriku, tetapi aku tak
mengejek dirimu”.
“Oh tidak apa-apa, maklum, ayah
ibuku sudah tak ada.
“Apa?, ayah dan ibumu sudah
meninggal”.
“Iya Bad, ayah dan ibuku sudah
meninggal”.
“Kapan itu ayah ibumu meninggal dan
apa sebabnya, sampai aku tak mengerti”. Kata Baduni tergelak menatap ke arah
muka Alibia dalam-dalam.
“Ayah ibuku meninggal pada hari Ahad
lalu, tanggal 14 Januari 2003”.
“Oh.. sayang sekali, waktu itu aku
masih menginap dirumah pamanku, dikota jakarta”.
“Tidak apa-apalah Bad”. Ujar
Alibia.”Jangan dipikirkan, yang sudah biarkanlah sudah”.
“Iya, tetapi apa musibah yang
dilanda oleh kedua orang tuamu itu”.
“Ayah ibuku dibunuh perampok. Dan
barang-barang sekitar rumahku dipungguti semua oleh mereka. aku sekarang hidup
seadanya, makan dan minum pun seadanya.
“Oh, Ali”. Erang Baduni.
Baduni merasakan ada getaran-getaran
yang mengonjang dihatinya. Jantungnya berdebar-debar keras, membayangkan
seingat waktu mengoceh yang menyesalkan dan juga menyakitkan hati Alibia. Dan
ia langsung menoleh matanya ke arah Alibia sambil berkata. “Aku menghinamu
tadi, kesengajaanku ini sungguh berdosa besar, karena melukai jiwamu yang
terasa nestapa, berarti tadi aku menghardikmu, maafkanlah saya yaa…?”. Baduni
menjabat tangan kanannya sambil agak menunduk badannya, di kedua matanya
meneteskan air mata. dan setelah itu ia mengambil uang yang banyak lagi di
banding dari uang pemberiannya tadi, kepada Alibia. “Inikah yang kedua
pemberianku, semoga ada sedekah semoga leburkan pula dosa-dosaku, maafkanlah
saya Alibia, Sesungguhnya Tuhan Maha Pengasih”.
Sampan itu masih berjalan dengan
gulungan mesin ombak yang mendebur-debur. Dan Kedua mereka tampak terlihat dari
kejauhan, perlahan-lahan menghilang dari permukaan air, bersama sampannya
dibawa arus angin menjauh. Langit tampak mulai nggak cerah lagi seperti tadi,
karena waktunya untuk pagi sudah sepoi habis merambat ke siang yang telah
tercium dari aroma nuasannya.
A. Kalamullah
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !