Headlines News :
Home » , » Cerpen Di Bawah Kebiruan Langit

Cerpen Di Bawah Kebiruan Langit

Written By MTs Rifa'iyah Wonokerto I Ponpes Faidlul Qodir I on Senin, 26 November 2012 | 11/26/2012 12:32:00 AM


MTs Rifa'iyah Wonokerto - Kita berdua akan kesana, jam di arloji milik Baduni sudah menunjuk pukul 06.00. berarti tak ada waktu lagi untuk bersantai-santai. Alibia temannya yang suka mengantuk bila dipapari semacam pelajaran, ia berkata seperti anak-anak saja baca buku. Dia berbahagia sekali sekarang ini, sesaat Baduni akan mengajaknya ke pantai Ngebum. Sederet pepohonan yang tampak semburat cahaya disela-dela dedaunan, membuat matanya menyatu dalam hati sekali-kali tak ada rasa putus asa.

            “Ayo, cepat-cepat kesana”. Kata Alibia gugup. “Nanti kebocoran esoknya”.

            “Engkau punya uang”.tegur Baduni.

            “Ahh..kamu? katanya aku akan diajaknya, berarti hal itu gratis”. Gerutu Alibia.

            Baduni tak berkata, dia meraih kakinya. Sambil tangan kanannya menjawel punggungnya. “Ayo..!”.

            Mereka berjalan berduaan diesok pagi yang tampak sepi. Saat itu langit tampak cerah sekali berwarna kebiruan murni tak ada campuran, cuma sedikit awan melintang. Sesekali burung-burung riuh menyambutnya dengan meloncat-loncat ditiang listrik kesana kemari.

            Baduni dan Alibia berjalan kaki, karena Pantai Ngebum tidak jauh dari desanya, dan selain itu untuk kebutuhan agar tubuhnya sehat karena gerakan kaki tersebut. Ketika itu Alibia menunjuk dengan jari telunjuknya ke Pantai Ngebum yang sudah kelihatan jelas. “Asyikk, engkau memang sahabat setiaku, Bad”. Alibia merayu-rayu dengan bahagia kepada Baduni.

            “Akh kamu, dulu berkata kalau membaca buku seperti orang kecil, tetapi malah engkau bersifat lebih kecil lagi dibanding dengannya. Ya, tu……cuma melihat pantai aja sudah kayak lembut melihat kulit manusia”. Ejek Baduni.

            “Lupakan aja Bad, dulu ya dulu, tapi sekarang harus sekarang”.

            “Ya, Sudah…..terserah kamu”. 

            Baduni tak berkesan bahagia sedikit pun saat melihat didepan matanya: sebuah pantai yang sepi—dibibir pantai banyak terdapat sampan yang bagus-bagus.

            “Pantai sangat sepi”. Kata Alibia. “Kita berdua akan bebas menikmati sampan-sampan itu”.

            “Itu bukan milikmu tahu….?”. Baduni membuat kelakarnya. “Itu milik para nelayan”.

            “Gila kau..ini, kapal itu disediakan untuk kita semua, tetapi harus dengan membayar uang seberapa kepada penjaga pantai itu”.

            “Masalah uang iya, tetapi apa engkau bawa uang”.

            “Yaa…kamu tanggung jawabnya”. Katanya. “Aku ini kan diajak olehmu, maka kau yang bisa mengurusku”.

            “He, he, he, he, he, he…lucu sekali kau”. Baduni meringis. “Dengar uji kata aja sudah melotot-lotot gitu….apalagi kalau aku berkata untuk segera pulang ke rumah…wah pasti kamu sampai bisa menangis tak karuan”.

            “Jangan teruskan”. Potong Alibia sesaat akan sampai didepan sampan-sampan itu. “Ayo kita segera naik sampan itu”.

            “Eehhh, enak aja kau..”. Kata Baduni dengan kelakarnya yang lucu “Sampan itu bukan milikmu, terus jika engkau naik sampan itu, engkau tak akan selamat, makanya jangan sekali-sekali berani walau menyentuh saja”.

            “Sial amet sih kau”. Alibia termenung penuh kesal. “Aku ingin kembali saja sekarang kerumah, jika engkau terus-terusan membuat aku kesal dengan ocehanmu itu”.

            “Jangan marah seperti itu”. Kata baduni melerai kemarahannya. orang laki-laki yang jantan doonnngg”.

            “Jantan!, jantan!”. Gerutunya. “Kalau sekali-sekali, kau mengoceh hal itu lagi yang membuat aku kesal. Kau akan merasakannya nanti.

            “Alaaaaahhh, hal kecil aja bisa jadi besar rupanya, iya sudaah, aku akan bisu selamanya”.

            Dalam hati Alibia berkata penuh kecewa. “Baru jadi orang kaya, sudah sombong amet, apalagi kalau jadi presiden, waw…berat”.

            Mereka sudah berada didepan sampan-sampan itu. Alibia yang tadinya tersenyum-senyum bahagia, sekarang lesu. Karena tadi sudah dijejeli kata-kata kelakar yang menyesalkan dari Baduni. Alibia hanya mendengus-dengus membayangkan apa jadi harapannya menaiki sampan itu. Baduni terheran-heran, melihat di kedua matanya Alibia mengeluarkan air mata.”Engkau menangis, wahai Ali, maafkanlah saya, bukanlah hal tadi itu bersifat nyata. Tetapi itu kelakar buatanku bersifat Halusinasi alias khayal belaka, maka dari itu jangan dimasukkan ke dalam hati yaa, kalau sudah terlanjur. Aku minta untuk maafkan aku……yaaa?”. Baduni baru merasakan kesedihannya, didalam hatinya berkata. “Waah, temanku seperti perempuan…diejek sekecil itu berani sampai mengeluarkan air mata. Berarti dia tak kuat oleh kata-kataku tadi.

            Baduni merogoh uang disakunya dengan diam-diam, dan kemudian menjabat tangan kanannya Alibia yang digegamannya ada segulung tiga lembar uang Sepuluh Ribuan. “Ini untukmu, semoga bahagia”.

            Alibia menyentuh kertas berupa uang dihimpitan antara tangan kanannya Baduni. Ia tampak kembali segar, kesusahan dihatinya hilang dan juga kesedihannya, kemudian wajahnya tersenyum saat dipandang oleh Baduni dengan tersenyum pula.

            “Jangan sedih, karena waktu esok masih indah untuk bercampur dengan dunia fantasimu”. Kata Baduni. “Ayo, kita naik sampan, mari”.

            Alibia tampak bahagia sekali sekarang, dia meraih kakinya melompat ke sampan. Baduni belum sempat naik, dia membayar dulu uang untuk penyewaan sampan  ke penjaga Pantai yang berada di posko—dibibir pantai itu, kemudian, Baduni kembali, dan langsung menaiki sampan itu, ketika itu Alibia sudah bersimpuh, menikmati udara sejuk diatas sampan. Kemudian mereka segera mendayungnya dengan dibantu angin dari barat yang sedikit kencang.

            Sampan itu didayung perlahan sampai ketengah-tengah lautan. “Aku belum merasakan kebahagian seperti menaiki sampan”.

            “Apa engkau belum pernah mencobanya”. Kata Baduni.

            “Belum Bad, semenjak kecil aku belum pernah menaiki sampan”.

            “Amboi diriku, tetapi aku tak mengejek dirimu”.

            “Oh tidak apa-apa, maklum, ayah ibuku sudah tak ada.

            “Apa?, ayah dan ibumu sudah meninggal”.

            “Iya Bad, ayah dan ibuku sudah meninggal”.

            “Kapan itu ayah ibumu meninggal dan apa sebabnya, sampai aku tak mengerti”. Kata Baduni tergelak menatap ke arah muka Alibia dalam-dalam.

            “Ayah ibuku meninggal pada hari Ahad lalu, tanggal 14 Januari 2003”.

            “Oh.. sayang sekali, waktu itu aku masih menginap dirumah pamanku, dikota jakarta”.

            “Tidak apa-apalah Bad”. Ujar Alibia.”Jangan dipikirkan, yang sudah biarkanlah sudah”.

            “Iya, tetapi apa musibah yang dilanda oleh kedua orang tuamu itu”.

            “Ayah ibuku dibunuh perampok. Dan barang-barang sekitar rumahku dipungguti semua oleh mereka. aku sekarang hidup seadanya, makan dan minum pun seadanya.

            “Oh, Ali”. Erang Baduni.

            Baduni merasakan ada getaran-getaran yang mengonjang dihatinya. Jantungnya berdebar-debar keras, membayangkan seingat waktu mengoceh yang menyesalkan dan juga menyakitkan hati Alibia. Dan ia langsung menoleh matanya ke arah Alibia sambil berkata. “Aku menghinamu tadi, kesengajaanku ini sungguh berdosa besar, karena melukai jiwamu yang terasa nestapa, berarti tadi aku menghardikmu, maafkanlah saya yaa…?”. Baduni menjabat tangan kanannya sambil agak menunduk badannya, di kedua matanya meneteskan air mata. dan setelah itu ia mengambil uang yang banyak lagi di banding dari uang pemberiannya tadi, kepada Alibia. “Inikah yang kedua pemberianku, semoga ada sedekah semoga leburkan pula dosa-dosaku, maafkanlah saya Alibia, Sesungguhnya Tuhan Maha Pengasih”.

            Sampan itu masih berjalan dengan gulungan mesin ombak yang mendebur-debur. Dan Kedua mereka tampak terlihat dari kejauhan, perlahan-lahan menghilang dari permukaan air, bersama sampannya dibawa arus angin menjauh. Langit tampak mulai nggak cerah lagi seperti tadi, karena waktunya untuk pagi sudah sepoi habis merambat ke siang yang telah tercium dari aroma nuasannya. 

      

      
A. Kalamullah
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website |
Copyright © 2012 - 2013. MTs Rifa'iyah Wonokerto I Ponpes Faidlul Qodir I - All Rights Reserved
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang