Headlines News :
Home » » Cerpen Bersama bintang

Cerpen Bersama bintang

Written By MTs Rifa'iyah Wonokerto I Ponpes Faidlul Qodir I on Selasa, 20 November 2012 | 11/20/2012 08:29:00 PM

MTs Rifa'iyah Wonokerto - Amboi, langit itu sangat gelap dan sunyi seperti tak ada kehidupan. Aku terpejap waktu itu, kakiku kaku dan lesu, disekitar kegelapan itu aku meraba-raba, aku berpikir, dimana sekarang tempat ini, namun aku tak mengerti. Tiba-tiba saja ku melihat satu bintang menari-nari dilangit jauh gelap itu, aku termenung, hatiku kagum. Belum seberapa satu bintang itu, dan kemudian muncul lagi disisinya sebuah bintang yang sebaya kecil dengan sampingnya dengan warna yang merah. Aku terkejut, mengapa bintang ada yang merah, sungguh aneh. 
Dalam pada kesunyian ini, gelap perlahan terang, karena bintang semakin banyaknya bermuncullan yang terang menyinari disekitarku. Malam itu sungguh aneh benar-benar aneh bin ajaib. Namun hatiku bahagia, memandang langit yang terang dengan bintang-bintang, aku terpesona, mataku tak bosan menatapnya, dan mulai terlihat juga sekitar ruang diriku bersandar, ternyata diriku sedang berada dilantai bulan. Bulan itu kayaknya tlah mati, tak terpancar cahaya sekalipun dengan bentuk tanahnya yang kasar dan hitam. 
       Aku berjalan menjelajah ke sekitarnya, mencapai waktu tiga jam, aku sangat letih untuk meneruskannya, lalu dengan keanehan hatiku, seraya ku panggil bintang untuk kemari. “Bintangku, kemarilah, aku sangat merindukanmu, kemarilah, dan bawa aku bersamamu”. Setelah itu aku terpasung dengan tatapan terfokus pada sorot bintang itu.
       Tak lama kemudian, salah satu bintang diatas itu, turun ke permukaan bulan—segera menghampiriku. Aku terpejap ketakutan, karena permintaanku tadi itu benar-benar terkabulkan, dan Bintang itu segera mendekati ke arahku dengan besarnya dan cahayanya yang sangat terang. Kemudian Bintang itu bertanya kepadaku. “Kau mau apa, saya turuti”.
      Aku terheran-heran, mengapa bintang bisa berbicara, padahal itu kan benda abstrak, dan termasuk benda-benda tata surya, lagi mengapa Bintang tahu permintaan. Namun aku jawab, karena dari kebahagiaanku dengan permintaan bintang itu kepadaku.
            “Aku ingin bersamamu dengan kebahagiaan”.
            “Baiklah, itu permintaanmu, cukup”.
            “Cukup, itu saja”.
            Lalu bintang itu tiba-tiba membuatkan rumah diatas bidangnya, dan segera menyeretku dengan angin yang sejuk hingga tubuhku melayang-layang dan masuk dalam rumah itu yang berada didasar Bintang.
            Bintang itu berjalan terus, membawaku mengarungi 7 puncak langit. Aku merasakan betapa senangnya, didalam rumah, dibintang itu. Tak ada rasa susah, dan aku selalu menikmati makanan dan minuman yang enak-enak, entah dari mana asalnya, dan kedua pokok itu tak kan bisa habis. Diruang rumah itu sangat segar seperti ada AC-nya, dan dirumah itu aku tak bisa tidur, aku lebih senang melihat seluruh isi bima sakti dari tirai jendelanya. Rumah itu bagaikan surga yang indah.
            Tiba-tiba bintang berkata kepadaku dengan suaranya yang bagai petir namun merdu. “Permintaanmu sudah habis, sekarang kamu harap tinggal dimana, karena bulan sudah jauh dari kami, dan lebih baiknya, kau akan ku letakkan dalam Planet yang indah itu”.
            Aku kaget, dengan permintaanku yang tak kekal, aku bingung, dan terasa khawatir. Lalu dengan semangat, aku pun menjawab. “Planet yang apa”.
            “Planet Matahari”.
            Aku ketakutan benar, seluruh badanku basah akan keringat, bulu romaku cepat bertegak lurus kaku.
            “Oh, Bintang janganlah begitu”. Kataku. “Apakah di Matahari itu ada kehidupan buatku”.
            Bintang menjawab. “Iya, Matahari itu bukanlah tempat yang panas hanya buatmu saja, namun itu tempatmu yang lebih asyik lagi”.
            Aku semakin bingung, kalau dipikir-pikir tak masuk akal, karena Matahari itu adalah permukaan yang terdiri atas api, apakah diriku bisa kekal hidup jika berada disana. Namun tak ada jawaban dalam pikiranku, aku hanya pasrah, dan berserah kepada Sang Bintang.
            Bintang itu tersenyum, dan segera mendekat ke Matahari, ternyata kata-kata bintang itu tak bohong. Hawa sekitar matahari tak terasa panas justru sangat sejuk dan dingin seperti hawa ditanah salju. Walau terdapat api, dan api itu terasa seperti es, sejuk sekali. Kemudian Bintang menyeretku bersama angin ke permukaan tanah Matahari.
            Tersentuh kakiku ke bidang datar tanah matahari, terasa benar-benar dingin dan bintang tlah berbuat jujur kepadaku, semoga diriku merasakan kebahagiaan diplanet ini.
Aku terpaku diatas Matahari, namun akalku masih terus berkata: mengapa Matahari tak panas seperti dalam ilmu alam itu. Seisi matahari tak seperti seisi bulan, dimatahari lebih terang dan tak merasakan lapar serta haus, tanah Matahari terpancar kemilau mirip Kaca yang licin sekali. Demi kehidupanku dimatahari, hingga hari, bulan, dan tahun terlampaui dalam jalannya usiaku.
Lama-lama diatas matahari ternyata sangat membosankan juga seperti dibulan, aku tak betah, karena tak merasakan makanan dan minuman seperti dirumah Bintang, walaupun tak lapar dan haus, tetapi keseleraan mulut harus benar-benar terasa dalam hidup, hidup tanpa rasa aroma makanan dan minuman bagai sebatang pohon tak mempunyai satu pun daun.
Ku merenung sambil menatap seluruh isi diangkasa menyambut putaran waktu.
Ketika itu, aku melihat satu bulat planet, planet itu seperti berdekatan dengan matahari, planet itu terlihat paling indah dari planet-planet lainnya, diplanet itu nampak selubung beberapa gumpalan putih entah apa dan warna bentuknya yang kelebihan biru muda.
Waktu itu aku belum tahu seluruh isi planet itu, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. dan apakah kecil atau tidak, aku tak mengerti, mungkin besar melebihi ukuran bulan.
Aku terus menatapnya, sampai tak kuat nafsuku untuk hidup diplanet yang kulihat itu. Kemudian dengan beraniku yang tak samar, aku meminta kembali kepada bintang yang masih juga menatap kelucuanku. “Ooh, Bintang. Diriku minta satu lagi pinta darimu”.
Bintang tersenyum dengan wajahnya yang cerah dan putih bersinar kemilau, ia langsung menjawab pertanyaanku dengan mulus dan ramah. “Benar, permintaanmu ini yang terakhir”.
“Iya, Bintang”. Kataku dengan mata berkaca-kaca. “Aku hanya meminta satu yang terakhir ini”.
Bintang mengangguk. “Minta apa wahai anak manis”.
“Aku minta agar diriku diletakkan diplanet itu”. ucapku sambil menunjuk arah planet itu yang sebenarnya adalah Bumi.
Sang Bintang turun dari juntainya yang jauh, ke hadapanku—membawaku dengan secepat kilat ke Planet Bumi. Sampainya memasuki sebuah Cakrawala didalam bumi, mengelilingi beberapa rumah-rumah indah dan megah yang terdapat banyak penduduk seperti bentuk diriku yakni manusia. Aku tak percaya, bahwa diriku ternyata banyak wujud, sebagai refleksi dari geraknya.
Bintang itu membawaku ke dasar tanah, lalu ia meninggalkanku dengan ucapan selamat tinggal. Aku mengganguk dengan senang menatap bintang yang semakin menjauh dan hilang.
“Inikah Planet yang ku cita-citakan”. Kataku dalam hati. “Ternyata lebih indah dari planet yang ku jumpai dulu, disekitar sini banyak mahluk-mahluk yang belum aku kenal entah itu apa, juga yang aku herankan, mengapa diriku ternyata sangat banyak wujudnya, apakah mahluk itu yang sama menyerupai wujud bentuk diriku, ohh aneh, dan siapakah yang membuat mahluk itu.
Waktu itu aku belum kenal Tuhan, dan diriku juga belum kenal semua yang ada dibumi. Namun setelah lama-lama, sampai menelan beberapa tahun, aku baru mengerti seluruh isi dibumi dan penciptanya, dan kini aku mempunyai kehidupan yang berbeda: punya teman, cinta, keluarga, dan harta. Aku bahagia dan bahagia, sedangkan diriku makin cool aja, aku mulai memakai baju, mempunyai istri dan melahirkan anak-anak. Serta rumah yang megah lengkap dengan fasilitas untuk kebutuhan sehari-harinya.
“Ternyata Planet inilah yang sangat indah, karena diriku sekarang menjadi hidup, banyak manusia yang bersahabat denganku, dan juga diriku lebih banyak menikmati kehidupan yang serba mewah”. Aku berkata dalam hati disisi kegembiraan yang sepenuhnya erat dalam batin serta lahirku.
Demi hari, bulan, tahun. Aku mulai merasakan gelisah, kini hidupku mulai bercampur baur dengan segala resiko dan kepedihan, aku tersiksa, kekayaanku lekas habis dirampok oleh penjahat, istriku hilang ditangan orang, dan beberapa bangunan-bangunan yang aku dirikan terbakar ludes.
Aku hidup bagai sebatangkara, tak berkawan lagi seperti dulu, dan tak memiliki kekayaan, juga anak dan istriku serta proses kehidupan diduniaku. Semakin jauh kini dalam waktu semakin menyiksa gelombang gerak hidupku yang membara dilautan siksa.
Setelah kesunyian merancap dalam kehidupanku, terpukau kelam dalam duka, dan menjadikan diriku menyesal. Waktu itu malam yang amat gelap, dan bintang tersebar seperti biasanya, diatap langit, aku menatap bintang-bintang itu ditanah kering bekas rumahku yang tlah tiada karena dihancurkan oleh kehitaman dunia. Lalu dengan menyesal dan semakin tak sabar dalam anganku yang akan mencoba bertanya kepada Bintang-bintang itu, namun akalku segera terbayang dari permintaan duluku kepada bintang yang janjinya adalah permintaan terakhir, tetapi aku tak menyerah, mungkin bintang sangat kasihan menatapku disini, dan ku jamin semoga bintang memberikan satu lagi permintaanku.
“Wahai Bintang, ternyata planet ini sangat seram, menakutkan, menyengsarakan, dan melukai kehidupanku”. Kataku dengan tersengal-sengal oleh ketakutan. “Bagaimana kalau aku dipindahkan lagi ke Planet Matahari, agar diriku tak merasakan nasib seperti ini.., tolonglah bintang, berikanlah satu lagi permintaanku ini”.
Bintang marah lalu menjawabnya. “Katanya kau berjanji, bahwa setelah berada diplanet itu tak kan lagi meminta kepadaku”.
“Iya bintang, itu janji palsuku, dan inilah janji terakhirku yang seasli-aslinya”.
“Tidak!! engkau sudah terlanjur, janji berarti janji, dan aku tak kan pernah menjadi permainan rayuanmu, karena engkau sudah menyatakan pinta yang terakhir di waktu dulu itu, ingat anak manis, janji berarti hutang, dan hutang harus pun ditaati dengan keabadian”.
Aku tak berucap, seluruh wajahku berkeringat karena dengan terdengarnya suara keras dan merdu sang Bintang dilangit yang gelap itu. kemudian aku hanya bisu, diriku letih dan otakku seperti tergores-gores petir tak dapat menyisakan sabdaku. Tak lama kemudian waktu esok menjelang, dan ku lihat langit sudah berubah, bintang-bintang sudah menghilang. Bergantian diwaktu kini, hanya ditemani Sang Matahari dilangit kebiruan, Oh Nasib, Oh Malang. Diriku sungguh tak terelakkan.


Ahmad Kalamullah
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website |
Copyright © 2012 - 2013. MTs Rifa'iyah Wonokerto I Ponpes Faidlul Qodir I - All Rights Reserved
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang